Pertama, terjadi perubahan cara pandang terhadap kehidupan pada beberapa kalangan senior. Dulu para aktivis di masa mudanya mengalami kehidupan yang sulit, karena menjalani berbagai aktivitas dakwah sambil menyelesaikan kuliah. Tidak ada aktivis yang memiliki kecukupan materi pada waktu itu. Semua hidup serba “minimalis” dan bahkan banyak yang kekurangan. Tidak ada aktivis yang hidup mapan, semua berada dalam kondisi sangat pas-pasan, atau bahkan di bawah standar kelayakan.
Setelah para aktivis sekarang relatif mulai merasakan kemapanan, beberapa di antara mereka cara pandangnya terhadap hidup dan kehidupan mengalami pergeseran. Mereka tidak ingin melihat anaknya berada dalam kesulitan dan kekurangan. “Jangan sampai miskin dan sulit seperti orang tuanya dulu saat muda. Biarlah orang tuanya saja yang menderita, anak-anak sekarang harus lebih baik kondisinya”. Prinsip dan pikiran seperti ini membuat ada sangat banyak permaafan dan permakluman terhadap kondisi anak-anak.
Namun uniknya, anak-anak yang cenderung mendapat fasilitas lebih baik dibanding generasi orang tuanya, ternyata tidak menampakkan semangat perjuangan sebagaimana dimiliki generasi terdahulu. Dahulu orang tuanya tidak bisa berbahasa Arab, ternyata anaknya pun juga tidak bisa berbahasa Arab. Dahulu orang tuanya ingin melahirkan generasi pejuang yang meneruskan jalan dakwah, namun ternyata anak-anak sekarang banyak yang lebih mengenal Justin Bieber daripada Hasan Al Banna.
Kedua, proses dakwah sekolah yang cenderung stagnan. Di banyak daerah, dakwah sekolah yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun, tidak menampakkan perkembangan dan kemajuan yang berarti. Dalam perspektif ideal, maraknya proses dakwah di sekolah diharapkan memberikan kontribusi positif untuk mencetak generasi penerus yang berkualitas. Di rumah, anak-anak telah mendapatkan sentuhan pembinaan dari orang tua yang sangat serius menyiapkan generasi baru. Dengan tambahan lingkungan yang kondusif di sekolah, harapannya akan mempercepat proses internalisasi nilai-nilai kejuangan dalam diri anak.
Namun kenyataannya masih jauh panggang dari api. Dakwah sekolah yang diharapkan mempercepat proses regenerasi sejak dari usia sekolah, di banyak tempat belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Ini menjadi salah satu bagian dari penjelasan mengapa idealita tentang generasi baru yang diimpikan duapuluh tahun yang lalu itu, belum bisa maujud secara utuh. Hanya maujud pada beberapa gelintir anak-anak, namun belum menjadi produk dari sebuah sistem perjuangan.
Ketiga, perkembangan kondisi anak-anak kader jauh lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan elemen dakwah untuk menghadirkan sistem pembinaan yang tepat bagi usia mereka. Ternyata interaksi anak-anak dengan perkembangan zaman sangat cepat. Identifikasi diri anak-anak pada usianya saat mulai menginjak remaja, telah menyebabkan dirinya berkembang ke sebuah arah yang belum tentu sesuai keinginan generasi pendahulu. Sayangnya, sistem pembinaan kita belum cukup sigap merespon dan mengantisipasi perkembangan tersebut.
Anak-anak sedang mencoba mengidentifikasi diri di usianya yang sedang tumbuh, memerlukan sentuhan yang tepat sesuai logika usia tersebut. Masih jarang dijumpai aktivitas pembinaan yang cocok dengan karakter remaja, dimana anak-anak remaja akan merasa enjoy dan nyaman berada dalam milieu yang disiapkan bagi mereka. Justru beberapa fenomena menunjukkan adanya pemberontakan anak-anak yang tidak ingin “menjadi seperti|” orang tuanya.
Keempat, pengaruh lingkungan sekitar. Setiap anak memiliki lingkungan pergaulan baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosial keseharian. Pengaruh lingkungan ini menjadi sangat besar dampaknya pada anak-anak yang menginjak usia remaja. Sejak dari cara berpikir, cara berpenampilan, model pergaulan, hingga tokoh-tokoh idola, sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka.
Anak-anak tidak bisa dididik secara eksklusif, dengan jalan dipisahkan dari lingkungannya. Karena eksklusifitas itu sesuatu yang semu, realitas yang ada adalah masyarakat yang kita hadapi setiap hari ini. Oleh karena itu diperlukan suatu lingkungan yang kondusif untuk membentuk karakter dan kepribadian mereka, agar tidak mudah larut dan terpengaruh oleh tradisi yang negatif dan menyimpang dari kebaikan.
Kelima, pengaruh globalisasi dunia. Luar biasa dahsyat pengaruh globalisasi. Kenyataannya globalisasi telah mempengaruhi semua orang, suka atau tidak suka. Berbagai kemajuan teknologi telah dengan sangat mudah diakses oleh anak-anak kita, melalui handphone, komputer, internet, dan berbagai sarana lainnya. Dengan mudah anak-anak kita mengerti berbagai informasi tanpa batas, dan membawa mereka ke dalam suasana global.
Jika orang tua tidak waspada menghadapi pengaruh globalisasi, akan bisa sangat tertinggal oleh pemikiran anak-anak remaja. Mereka telah mengerti berbagai peristiwa di berbagai dunia, dan orang tua yang gagap teknologi akan berada dalam situasi sangat tertinggal dan sangat miskin informasi. Sepertinya orang tua menjadi sangat kuno dan kolot karena tidak mengetahui perkembangan terkini.
Keenam, pengaruh syi’ar infitahiyah. Pada saat dakwah berada dalam mihwar publik, seruan yang sering dikumandangkan adalah agar kader bersikap inklusif, bukan eksklusif. Kader harus membaur dengan realitas kehidupan masyarakat dan tidak membuat sekat-sekat eksklusivitas. Seruan seperti ini membuat semua kader berusaha semaksimal mungkin beradaptasi dengan kehidupan masyarakat sekitar, yang bukan tidak mungkin akan mendapatkan pengaruh dari corak yang berkembang di tengah masyarakat.