Total Tayangan Halaman

401

Rabu, 29 Juni 2011

Hambatan Impian Besar Kita

Pertama, terjadi perubahan cara pandang terhadap kehidupan pada beberapa kalangan senior. Dulu para aktivis di masa mudanya mengalami kehidupan yang sulit, karena menjalani berbagai aktivitas dakwah sambil menyelesaikan kuliah. Tidak ada aktivis yang memiliki kecukupan materi pada waktu itu. Semua hidup serba “minimalis” dan bahkan banyak yang kekurangan. Tidak ada aktivis yang hidup mapan, semua berada dalam kondisi sangat pas-pasan, atau bahkan di bawah standar kelayakan.
Setelah para aktivis sekarang relatif mulai merasakan kemapanan, beberapa di antara mereka cara pandangnya terhadap hidup dan kehidupan mengalami pergeseran. Mereka tidak ingin melihat anaknya berada dalam kesulitan dan kekurangan. “Jangan sampai miskin dan sulit seperti orang tuanya dulu saat muda. Biarlah orang tuanya saja yang menderita, anak-anak sekarang harus lebih baik kondisinya”. Prinsip dan pikiran seperti ini membuat ada sangat banyak permaafan dan permakluman terhadap kondisi anak-anak.
Namun uniknya, anak-anak yang cenderung mendapat fasilitas lebih baik dibanding generasi orang tuanya, ternyata tidak menampakkan semangat perjuangan sebagaimana dimiliki generasi terdahulu. Dahulu orang tuanya tidak bisa berbahasa Arab, ternyata anaknya pun juga tidak bisa berbahasa Arab. Dahulu orang tuanya ingin melahirkan generasi pejuang yang meneruskan jalan dakwah, namun ternyata anak-anak sekarang banyak yang lebih mengenal Justin Bieber daripada Hasan Al Banna.
Kedua, proses dakwah sekolah yang cenderung stagnan. Di banyak daerah, dakwah sekolah yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun, tidak menampakkan perkembangan dan kemajuan yang berarti. Dalam perspektif ideal, maraknya proses dakwah di sekolah diharapkan memberikan kontribusi positif untuk mencetak generasi penerus yang berkualitas. Di rumah, anak-anak telah mendapatkan sentuhan pembinaan dari orang tua yang sangat serius menyiapkan generasi baru. Dengan tambahan lingkungan yang kondusif di sekolah, harapannya akan mempercepat proses internalisasi nilai-nilai kejuangan dalam diri anak.
Namun kenyataannya masih jauh panggang dari api. Dakwah sekolah yang diharapkan mempercepat proses regenerasi sejak dari usia sekolah, di banyak tempat belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Ini menjadi salah satu bagian dari penjelasan mengapa idealita tentang generasi baru yang diimpikan duapuluh tahun yang lalu itu, belum bisa maujud secara utuh. Hanya maujud pada beberapa gelintir anak-anak, namun belum menjadi produk dari sebuah sistem perjuangan.
Ketiga, perkembangan kondisi anak-anak kader jauh lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan elemen dakwah untuk menghadirkan sistem pembinaan yang tepat bagi usia mereka. Ternyata interaksi anak-anak dengan perkembangan zaman sangat cepat. Identifikasi diri anak-anak pada usianya saat mulai menginjak remaja, telah menyebabkan dirinya berkembang ke sebuah arah yang belum tentu sesuai keinginan generasi pendahulu. Sayangnya, sistem pembinaan kita belum cukup sigap merespon dan mengantisipasi perkembangan tersebut.
Anak-anak sedang mencoba mengidentifikasi diri di usianya yang sedang tumbuh, memerlukan sentuhan yang tepat sesuai logika usia tersebut.  Masih jarang dijumpai aktivitas pembinaan yang cocok dengan karakter remaja, dimana anak-anak remaja akan merasa enjoy dan nyaman berada dalam milieu yang disiapkan bagi mereka. Justru beberapa fenomena menunjukkan adanya pemberontakan anak-anak yang tidak ingin “menjadi seperti|” orang tuanya.  
Keempat, pengaruh lingkungan sekitar. Setiap anak memiliki lingkungan pergaulan baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosial keseharian. Pengaruh lingkungan ini menjadi sangat besar dampaknya pada anak-anak yang menginjak usia remaja. Sejak dari cara berpikir, cara berpenampilan, model pergaulan, hingga tokoh-tokoh idola, sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka.
Anak-anak tidak bisa dididik secara eksklusif, dengan jalan dipisahkan dari lingkungannya. Karena eksklusifitas itu sesuatu yang semu, realitas yang ada adalah masyarakat yang kita hadapi setiap hari ini. Oleh karena itu diperlukan suatu lingkungan yang kondusif untuk membentuk karakter dan kepribadian mereka, agar tidak mudah larut dan terpengaruh oleh tradisi yang negatif dan menyimpang dari kebaikan.
Kelima, pengaruh globalisasi dunia. Luar biasa dahsyat pengaruh globalisasi. Kenyataannya globalisasi telah mempengaruhi semua orang, suka atau tidak suka. Berbagai kemajuan teknologi telah dengan sangat mudah diakses oleh anak-anak kita, melalui handphone, komputer, internet, dan berbagai sarana lainnya. Dengan mudah anak-anak kita mengerti berbagai informasi tanpa batas, dan membawa mereka ke dalam suasana global.
Jika orang tua tidak waspada menghadapi pengaruh globalisasi, akan bisa sangat tertinggal oleh pemikiran anak-anak remaja. Mereka telah mengerti berbagai peristiwa di berbagai dunia, dan orang tua yang gagap teknologi akan berada dalam situasi sangat tertinggal dan sangat miskin informasi. Sepertinya orang tua menjadi sangat kuno dan kolot karena tidak mengetahui perkembangan terkini.
Keenam, pengaruh syi’ar infitahiyah. Pada saat dakwah berada dalam mihwar publik, seruan yang sering dikumandangkan adalah agar kader bersikap inklusif, bukan eksklusif. Kader harus membaur dengan realitas kehidupan masyarakat dan tidak membuat sekat-sekat eksklusivitas. Seruan seperti ini membuat semua kader berusaha semaksimal mungkin beradaptasi dengan kehidupan masyarakat sekitar, yang bukan tidak mungkin akan mendapatkan pengaruh dari corak yang berkembang di tengah masyarakat.

Engkaukah pemuda itu?

Islamedia - Ada sebuah hadits yang sudah saya dengar cukup lama, kurang lebih di tahun 1998 saya mendengar hadits ini. Inilah hadits tersebut :
Dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, Pemimpin yang adil, Pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah),  Seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat berjamaah di dalamnya), Dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, Seseorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: “Aku takut kepada Allah”, Seseorang yang diberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya, dan Seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya.” (HR Bukhari)
Hadits ini cukup dan sangat jelas untuk kita mengerti. Bahwa kan ada 7 golongan yang Allah SWT akan memberikan naungannya. Dalam golongan-golongan tersebut ada satu yang membuat saya menulis kali ini. yaitu golongan “Pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah)“.

Dari sekian banyak golongan, dalam hadits tersebut Rasulullah menjadikan pemuda sebagai salah satu golongan tersebut. Mengapa? inilah yang membuat saya juga bertanya. Mungkin bisa kita refleksikan di zaman-zaman sebelumnya. Bagaimana peran pemuda dalam zaman tersebut.

Di zaman Rasulullah ada seorang pemuda yang menjadi panglima perang ditengah sahabat-sahabat senior, beliau adalah Usamah bin Zaid. Peperangan yang dipimpinnya memberikan kemenangan untuk umat muslim.

Lalu Imam Syahid Hasan Al-Bana pun pernah mengatakan “Sejak dulu hingga sekarang, pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuatannya. Dalam setiap pemikiran, pemuda adalah pengibar panji-panjinya”.

Bahkan Presiden pertama Indonesia Soekarno sepaham dengan Imam Syahid Hasan Al-bana dengan mengatakan “Berikan saya Sepuluh Orang Pemuda, maka akan saya gemparkan dunia”.

Sebegitu hebatnya pemuda, hingga Rasulullah mengirimkan seorang Usamah bin zaid dalam sebuah pertempuran. Lalu sangat yakinnya Hasan Al-Banna dan Soekarno dengan para pemuda untuk menjadi perubahan.

Lalu bagaimana kita sebagai pemuda saat ini? Saya mulai bertanya, pemuda perubahan itu siapa? apakah pemuda yang selalu mefoya-foyakan hidupnya? Apakah pemuda yang larut dalam pergaulan yang kebablasan? Apakah pemuda yang mengagung-agungkan free sex? Apakah pemuda yang sakau dengan narkotika dan obat-obatnya? Apakah pemuda yang senantiasa bermaksiat kepada Allah?

Jawaban itupun ternyata terjawab sudah oleh hadits Rasulullah yaitu “Pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah)“.

Semoga kita menjadi pemuda tersebut sehingga kita menjadi agen-agen perubahan yang ke arah lebih baik untuk negeri dan umat ini. Amin. Wallahu a’lam.

Rabu, 15 Juni 2011

Tarbiyah Anak

by Syaifullah Greenmaker on Monday, May 23, 2011 at 9:52am
Mendidik anak kadang mirip mengasah sebuah pisau. Butuh ketelitian dan kehati-hatian. Kalau tidak, bukan sekadar pisau yang akan menjadi tajam; tangan pun bisa luka tergores.
Setiap ibu ingin punya anak yang saleh. Taat pada Allah, bakti sama orang tua. Kalau anak bisa seperti itu, ibu mana pun akan senang. Selain karena sukses menunaikan amanah Allah, kelak di masa tua pun bisa menenteramkan.
Namun, tidak semua keinginan baik punya jalan gampang. Karena anak bukan seperti mainan lilin yang bisa dibentuk cuma dengan gerakan jari tangan. Ada hal lain yang harus diperhatikan. Butuh kesabaran, juga keteladanan. Hal itulah yang kini dirasakan Bu Cici.
Ibu dua anak ini mungkin di antara mereka yang beruntung. Betapa tidak, Allah menganugerahinya dua anak yang baik dan cerdas. Yang balita sudah bisa baca Alquran, yang di SD hafal tiga juz. Subhanallah.
Namun, kondisi itu tidak bikin Bu Cici berpuas diri. “Masih banyak yang harus dilakukan!” ucap Bu Cici mengomentari ancungan jempol seorang temannya.
Satu hal yang sangat ingin dilakukan Bu Cici adalah menjadikan sulungnya bisa berdalih dengan Alquran. Dalam hal apa pun. Mulai dari urusan sehari-hari, hingga seputar keindahan alam semesta. Semua harus didasarkan Alquran. Di surah mana, dan ayat keberapa.
Bu Cici berharap, sulungnya kelak bukan sekadar bisa hafal teks Alquran, tapi juga mampu memahami dan menghubungkannya dengan dunia nyata. “Apa nggak terlalu berat, Mi?” tanya suami Bu Cici suatu kali. Dengan mantap Bu Cici mengatakan, “Tidak!”
Mulailah hari-hari perjuangan buat si sulung. Mau tidak mau, ia harus akrab dengan Alquran terjemah. Kalau dapat hadiah dari ibunya, ia bukan sekadar harus mengucapkan ‘alhamdulillah’. Tapi, mesti bisa menyebutkan surah dan ayat tentang itu.
Biasanya, Bu Cici memberikan kemudahan. Sebagai awalan, ia menyebut nama surahnya. Dan ayatnya harus dicari sendiri oleh si anak. “Cari di surah Adh-dhuhaa!” ucap Bu Cici sambil merapikan buku-buku dongeng si bungsu. “Ketemu?” tanya Bu Cici beberapa saat kemudian. “Ada, Mi. Di ayat kesebelas! ‘Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur),” ujar si sulung begitu bersemangat. Dan, Bu Cici pun mengangguk ringan.
Kalau sedang marah pun Bu Cici tetap mengkondisikan anaknya melihat Alquran. “Nak, kamu harus nurut apa kata Abi dan Umi,” ujar Bu Cici agak ketus. “Ayatnya?” sergah si sulung santai. “Lihat surah Al-Israh ayat kedua puluh tiga dan dua puluh empat. Hafalkan!” tegas Bu Cici lebih serius.
Kadang, Bu Cici yang harus menerima pertanyaan dari si sulung. “Mi, kenapa bulan dan matahari cahayanya beda. Ada nggak ada dalam Alquran?” ucap Si Sulung sesaat setelah menatap cahaya bulan purnama dari balik jendela.
Deg. Bu Cici agak gugup. Pertanyaan itu di luar dugaannya. Ia agak bingung mau jawab gimana. Tapi, Bu Cici tidak kehilangan cara. Ia pun tersenyum sambil berlalu meninggalkan si sulung. “Umi mau kemana?” tanya si sulung agak heran. “Umi mau ke belakang sebentar!” jawabnya setengah berteriak.
Saat itulah, Bu Cici buka-buka indeks Alquran. Dahinya mulai berkerut ketika pencarian belum juga selesai. Ia khawatir kalau si sulung mendapatinya dalam kebingungan. Dan, “Alhamdulillah, ketemu juga!” gumam Bu Cici sambil melangkah menuju si sulung yang masih asyik menatap bulan.
“Umi kok lama amat!” ucap si sulung tanpa basa basi. “Ada yang Umi kerjakan di belakang!” jawab Bu Cici ringan. “Tadi pertanyaannya apa, ya, Nak?” tambahnya sambil berlagak lupa. Dan si sulung pun mengulangi pertanyaannya.
Sejenak, Bu Cici seperti berpikir keras. “Oh iya. Umi hampir lupa. Soal sinar matahari dan bulan disebut Alquran dalam surah Yunus ayat kelima,” jawab Bu Cici tanpa memperlihatkan kesulitan sedikit pun. Ia pun membaca ayat itu beserta terjemahannya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)…
“Anakku. Ayat itu menjelaskan bahwa mataharilah yang bersinar, sementara bulan hanya bercahaya. Itulah kenapa matahari lebih terang dari bulan,” jelas Bu Cici begitu meyakinkan. “Subhanallah!!” sambut si sulung begitu takjub.
Karena dirasa berhasil, Bu Cici dapat penghargaan dari suami tercinta. Hadiahnya begitu berharga buat Bu Cici. Sebuah ponsel. Wow, sesuatu yang selama ini cuma dalam khayalan Bu Cici. “Alhamdulillah, ya Allah!” ucap Bu Cici sambil sujud syukur. Sejak itu, kemana pun Bu Cici keluar rumah, ponselnya tak pernah ketinggalan.
Hingga suatu kali, Bu Cici tergopoh-gopoh pulang dari suatu majelis taklim yang belum selesai. Ia ingin mengambil ponselnya yang ketinggalan. Ketika di rumah, Bu Cici tambah bingung. Soalnya, ponselnya tidak ada di tempat biasa.
“Nak, kamu lihat HP Umi?” tanya Bu Cici ke sulungnya. “Lihat!” jawab si sulung enteng. “Mana?” tanya Bu Cici cepat. “Udah dikasih pengemis!” jawab si sulung masih dengan nada ringan. Bu Cici kaget. “Apa? Kamu kasih orang?” sergahnya agak marah. “Kenapa, Nak?”
“Lihat surah Ali Imran ayat ke sembilan puluh dua. Hafalkan!” ucap si sulung menirukan gaya ibunya. (Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai…)